doc. google 

Pagi itu seperti pagi biasanya. Pukul enam lebih seperempat, sesuai makan pagi aku bergegas keluar dari rumah. Dari depan terdengar suara kicauan koleksi burung Kenari Bapak yang memang sangat gacor.

Langit terlihat cerah, setelah semalaman di guyur hujan. Aroma tanah yang disiram air pun tercium lezat. Ditambah semilir angin pagi, dan tetesan sisa air hujan yang membasahi tanah. Membuat pagiku terasa beda, dan amat beda dari pagi-pagi yang lalu.

"Pak, Buk.. Aku berangkat dulu yaa" izin Ku pada Ibuk dan Bapak yang masih bersiap juga untuk pergi ke Kantor.

Sudah setahun belakangan sejak pertengahan kelas 11, sebelum menuju sekolah Aku selalu menjemput teman dekatku, Rina. Seorang gadis SMA yang wajahnya manis, di pipi kanan-kirinya terdapat lekukan lesung. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, seukuran badan perempuan pada umumnya.

Banyak teman-teman, Guru dan Karyawan menilai Aku dan Rina adalah sepasang sejoli yang pacaran. Tetapi, Aku dan Rina masih membantah jika ada yang mengatakan demikian.

Memang Aku dan Rina sangat dekat, sedekat sandal kanan dan kiri; saling melengkapi. Rina adalah gadis yang pintar, prestasinya tidak di ragukan. Sejak Sekolah Dasar hingga Kelas 12 SMA Ia selalu rangking satu di kelas. Hal itu tentu membuatku terkangum-kagum.

Hingga pada suatu hari mendekati Ujian Nasional, Rina memintaku membuatkannya sebuah puisi. Ia tahu Aku suka menulis, dan pandai merangkai kata-kata. Ya memang Aku merasa nyaman ketika menulis, Aku lebih suka menulis dari pada berbicara berbusa-busa tetapi tidak ada makna.

Bagiku menulis adalah kebebasan untuk abadi. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, Menulis adalah Pekerjaan Keabadian. Maka, Aku akan terus menulis dan menulis.

"Baiklah, kalau kau meminta ku untuk menuliskan puisi. Tapi, bolehkah aku pinjam pulpen mu, Rin?"

"Boleh, tapi jangan lupa dikembalikan ya", ucap Rina dengan syarat.

Aku pun dipinjamkannya pulpen Rina. Terlihat sedikit aneh bentuknya. Ujung bawahnya lancip bak jarum jahit, ujung atasnya ada boneka kepala kucing berwarna merah muda.

Keesokan harinya, seusai bel pulang sekolah berbunyi, Aku menghampiri Rina yang sedang duduk sengaja menantiku di meja nya, meja paling depan, paling pojok persis didepan meja guru.

Aku pun mencoba duduk disampingnya, dengan sedikit gerogi Aku menyerahkan puisi yang Ia inginkan kemarin.

"Rina, ada sesuatu rasa yang selalu mengganjal ketika Aku dekat denganmu. Rasa yang tidak tak sama ketika Aku dekat dengan teman perempuan lain. Bolehkah Aku mendefinisikanya itu sebagai rasa cinta? Tapi apakah mungkin seorang teman laki-laki seperti Aku layak mencintaimu?

Dan ini puisi yang kau inginkan kemarin. Aku tulis di halaman buku catatan ku. Dibelakangnya ada 48 lembar puisi dan cerpen lagi yang bisa kau nikmati" ujarku pada Rina.

Ia pun tersenyum lebar, matanya terlihat sayu, alis kedua matanya sedikit terangkat. Dan senyum itu bertambah manis ketika mulai terlihat lesung yang menempel dikedua pipinya. Mungkin ini adalah senyum terindah Rina yang pernah Aku lihat.

"Kau adalah Pria baik dan paling baik selama aku mengenal teman laki-laki. Kau adalah orang yang paling ikhlas diantara yang ikhlas. Aku bisa menerima buku ini, tapi kalau masalah cinta..."

"Aku belum pandai masalah itu. Aku tak mau karena kebodohan ku akan cinta menjadikan hidup tak ada kebebasan, selalu ada kekangan dan memang bagiku saat ini bukan waktunya untuk saling mencintai. Aku harus melanjutkan studi setelah lulus SMA. Kau pun sama. Jika memang Aku dan Kamu sudah digariskan Tuhan, kita tidak akan bisa berpaling dari-Nya". Ujar Rina sambil menundukkan kepalanya ke bawah.

Ia tak berani menatapku, begitupun Aku. Rasanya tertegun mendengar kata-kata Rina, ada benarnya juga.

Belum sempat Aku mengembalikan pulpen yang ku pinjam, Rina langsung bergegas pulang karena sudah ditunggu Ayahnya.

Sejak saat itu, Rina setiap pagi menolak jika aku menjemputnya. Seakan-akan Ia sengaja membuat jarak denganku.

Sekian hari tidak ada kabar dari Rina, mungkin saja dia fokus kepada Ujian Nasional. Dan aku pun mengerti tentang keadaan ini.

Kini, Aku dan Rina sudah tak sedekat dulu lagi. Dan sejak lulus SMA kita tak saling berkomunikasi. Adalah kesalahanku waktu itu, karena kebodohan ku akan cinta beraninya mengatakan cinta pada seorang gadis yang pintar dan cantik.

Suatu hari, setelah berlalu dua puluh empat bulan, Aku mendapat kabar tentang Rina, Ia sekarang melanjutkan studi di Fakultas kedokteran pada salah satu Universitas Negeri di Ibu Kota. Aku senang mendengarnya. Dan tentu Aku mulai menebak-nebak takdir. Tak akan mau seorang dokter hidup bersama laki-laki yang hanya seorang calon guru.

Hingga pada akhirnya, empat puluh delapan bulan berikutnya datang supucuk surat dari kurir. Bungkusnya indah, rapi dan lumayan tipis.
Betapa kagetnya Aku ketika melihat isi bungkusan itu. Dua tumpukan buku, yang pertama adalah buku catatan harianku dulu ketika SMA. Dan satu lagi, itu adalah buku Novel Ke-27 yang aku tulis. Dibawah nya ada kertas, berwarna merah muda bergambar hati.

Aku bertambah kaget, ternyata bungkusan ini dari Rina, gadis cantik, dan pintar yang dulu aku cintai di SMA. Ia memberikan secarik kertas undangan pernikahannya dengan seorang Perwira Angkatan Darat.

"Bersama ini, Rina meminta maaf sebesar-besarnya, atas kejadian yang lalu-lalu. Lewat buku-buku karyamu, Rina sekarang sudah mengerti akan cinta itu apa. Dan sepertinya Tuhan tidak mengharuskan kita untuk hidup bersama. Tetapi, Tuhan telah menggariskan Kau menjadi seorang sastrawan, dan Aku menjadi seorang Dokter. Kau akan abadi, seperti rasa cinta yang ada dihati seseorang", tulis Rina pada secarik kertas yang menempel diundangan itu.

Aku pun, senang mendengar kabar itu. Aku pun pasti akan datang ke-pesta itu, meski dengan balutan air mata.

Tidak ada yang bisa menduga, cinta ini untuk siapa. Manusia bisa berencana, tapi yang Kuasa-lah menentukannya.


Kab. Tegal, 25 Juli
2017.
M. Aji Firman