(Doc. Google) |
Langit pagi itu mulai
membiru. Dari jendela kamar, sinar matahari merangsak masuk lewat lubang-lubang
plafon dan jendela. Setelah diguyur hujan semalaman, udara menjadi serasa
berada di kaki pegunungan. Padahal kontrakan Kang Karjo berada di tengah-tengah
kota yang dihimpit oleh beberapa Kawasan industri.
Kang Karjo yang baru saja
membuka mata dan mengumpulkan nyawa setelah beberapa jam istiharatnya tiba-tiba
dikagetkan oleh Saidin yang masuk kedalam kamarnya tanpa mengetuk pintu.
“Jooo.. Joo.. Karjo. Coba
lihat ini. Bagaimana mungkin ada seorang mahasiswa bisa menerbitkan sebuah buku
setahun lima kali? Itu mustahil Jo,” tanya Saidin kepada Karjo sambil
menunjukan ponselnya.
Rupa-rupanya Saidin baru
saja membaca berita bahwa ada mahasiswa yang lulus tanpa skripsi dan
menerbitkan buku setahun lima kali. Bagi Saidin itu hal yang diluar nalar, ia
membandingkan dirinya sendiri yang punya keinginan menerbitkan buku.
Keinginannya untuk menerbitkan
buku sudah ia pupuk sejak semester satu. Giliran ia berhasil membuat naskah
tetapi sayang, naskahnya yang berisi soal perjalanan hidup dan kisah cintanya
yang rumit itu ditolak oleh penerbit karena tulisannya dinilai seperti tulisan
sampah.
Kang Karjo yang semalam
sebelumnya sudah membaca beritanya lewat grup WhatsApp Pusat Informasi
Wartawan menjawab dengan santai.
“Ya, bisa saja. Mungkin
saja dia setiap hari memakan buku. Mungkin saja dia setiap hari juga meminum
diskusi atau seminar ‘bagaimana agar menjadi mahasiswa produktif?’ atau
jangan-jangan di dapur rumahnya juga ada penerbit yang siap kapan saja jika ada
naskah masuk,” jawab Kang Karjo yang masih memeluk guling kesayangannya.
“Nerbitin buku mah
sekarang kaya kamu membalikan telapak tangan. Penerbit sekarang juga sudah
menjamur dimana-mana. Yang jelas kalo kamu punya uang, apa saja sekarang bisa. Lha,
wong ISBN aja gak sampe seratus ribu cukup,” lanjut Kang Karjo.
“Tapi kok naskahku
ditolak ya Jo?”
“Itu karena kamu salah
datang ke penerbit. Lha, wong tulisanmu itu cuma curhatan hidupmu dan
kisah cintamu yang rumit itu kok datang ke penerbit LKiS. Ya jelas naskahmu
ditolak,” pungkas Karjo.
~~
Semenjak pagi itu Saidin
masih bersih keras untuk bisa menerbitkan naskahnya menjadi sebuah buku yang
memiliki ISBN. Disamping kesibukannya aktif diberbagai organisasi kampusnya, Ia
pun setiap hari sibuk mencari informasi seminar atau diskusi tentang kiat-kiat
mudah menerbitkan buku.
Hingga pada akhirnya
suatu ketika Saidin mendapatkan informasi bahwa dari Himpunan Mahasiswa Jurusan
disalah satu kampusnya akan mengadakan Talk Show tentang “Bagaimana Menjadi Mahasiswa
Produktif” dengan bintang tamu yang tidak asing ditelinga Saidin. Aleq, seorang
mahasiswa yang lulus tanpa skripsi dan menerbitkan lima buku dalam setahun.
Saidin girang. Rasa
penasarannya akan segera terobati. Walaupun Saidin merasa dirinya tidak
produktif-produktif amat ia tetap nekat menghadiri Talk Show itu demi menjawab
rasa penasarannya.
~~
Singkat cerita, hari itu
datang. Dengan semangat membara Saidin datang ke tempat acara Talk Show
tersebut. Sesampainya di lokasi, betapa kagetnya Saidin. Ratusan peserta sudah
memadati Gedung.
“Gila, ini orang
penggemarnya banyak juga,” gumam Saidin dalam hati.
Sesi Talk Show dimulai. Aleq
mulai dicecar oleh sejumlah pertanyaan dari moderator.
“Apa latar belakang kehidupan
Anda?,”
“Apa motivasi Anda dalam
menulis?,”
“Bagaimana Anda membagi
waktu antara aktif diberbagai organisasi dan aktifitas menulis?,”
Semua pertanyaan dijawab
oleh Aleq dengan mudah dan santai. Karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu
sudah sangat familiar ditanyakan ketika ia mengisi diskusi, seminar, dan acara
sejenisnya.
Hingga pada penghujung
sesi Talk Show, moderator mempersilahkan peserta untuk memberikan pertanyaan kepada
bintang tamu.
“Sayaaaa!,” secepat kilat
Saidin mengacungkan jari telunjuk ke langit.
“Ya, silahkan kamu,”
moderator mempersilahkan Saidin untuk bertanya.
“Saya Saidin, dari Fakultas
Pertanian. Izin bertanya kepada Mas Aleq. Pertama, dengar-dengar Anda lulus
tanpa skripsi dan tugas akhirnya diganti dengan buku karya Anda sendiri? Padahal
Anda dari Fakultas Kehutanan, sedangkan buku yang Anda cap sebagai novel itu adalah
tentang perjalanan kisah hidup Anda?,”
“Kedua, Apa rahasia Anda bisa
menerbitkan buku lima kali dalam setahun?”
Aleq menelan ludah
mendengarkan pertanyaan dari Saidin. Jatungnya berdebar sangat cepat, keringat
di dahinya keluar bak air hujan. Ia selama keliling Indonesia mengisi acara dari
kampus ke kampus, dari diskusi lesehan di Taman kampus hingga seminar di Hotel
bintang lima, ia baru mendapatkan pertanyaan seperti ini.
Sambil menghela nafas
Aleq berusaha tetap tenang, walaupun dari cara berbicaranya terlihat gugup.
“Saya dulu sebenarnya
sudah membuat skripsi, tetapi ada salah satu dosen saya yang mengetahui bahwa
saya menulis novel. Pada suatu saat saya dihubungi dosen tersebut untuk
mengajukan novel saya kepada fakultas sebagai pengganti skripsi. Ya saya nurut
saja, hingga akhirnya saya lulus tanpa skripsi dengan pengganti buku novel yang
saya buat.”
“Kemudian soal saya bisa menulis
dan menerbitkan buku lima kali dalam setahun, sebenarnya saya punya penerbit
sendiri. Saya direkturnya, saya juga editornya. Cuma kalau layout masih teman
saya yang bantu. Barangkali teman-teman disini ada yang punya naskah dan pengin
diterbitkan oleh Pemberdaya Book, bisa hubungi nomor WhatsApp saya.
Dijamin terbit dan ber-ISBN. He he he,” jawab Aleq.
Mendengar jawaban Aleq,
Saidin seperti dejavu perkataan Kang Karjo tempo hari. Lalu ia bergegas langsung
keluar ruangan meninggalkan acara.
Sesampainya di Kontrakan,
Saidin mengambil naskah yang pernah ia tulis dan ditolak oleh penerbit. Dibakarlah
naskah itu. Apinya menerangi teras rumah. Kang Karjo yang penasaran, kemudian
keluar membawa sebungkus rokok Gudang Garam. Ia menyumat rokok dari api didepannya.
Sambil tersenyum, diberikanlah rokok itu kepada Saidin yang duduk disampingnya.
“Anjing!” satu kata keluar
dari mulut Saidin.
“Ha ha ha,” Kang Karjo
tertawa terbahak-bahak.
0 Komentar