(doc. Google) |
Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law telah disahkan pada 5 oktober lalu. Berbagai elemen masyarakat merespon. Mulai dari politisi, akademisi, mahasiswa, hingga buruh yang merasa paling merasakan dampaknya pun ikut memprotes atas keserakahan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam mengesahkan UU Cipta Kerja.
Rakyat menilai pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini cacat prosedur, gak transparan dan telalu terburu-buru. Tak heran jika parlemen jalanan pun mulai beraksi. Di berbagai kota demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh mahasiswa, buruh, bahkan pelajar tak terbendung. Seperti Bandung, Banten, Jakarta, Semarang, Jogja, Makassar dan kota besar lainnya.
Merespon gelombang aksi masa, presiden Joko Widodo mengeluarkan siaran pers pada jumat, (9/10) di Istana Kepresidenan Bogor melalui Youtube Channel Biro Pers & Media Informasi Sekretariat Presiden RI. Dalam siaran pers itu presiden memberikan alasan mengapa UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini harus di sahkan, presiden juga menepis tentang isu-isu yang beredar di masyarakat. Seperti isu komersialisasi pendidikan, tidak adanya kompensasi bagi buruh, penghapusan upah mininum, dan lainnya. Dan di akhir siaran pers, presiden mengajak masyarakat yang kurang puas atau menolak Omnibus Law ini untuk mengajukan judical review kepada Mahkamah Konstitusi, karena hal itu adalah sesuai dengan prosedur konstitusi negara kita tercinta, Indonesia.
Ternyata, tak cuma presiden Republik Indonesia yang menyarankan agar rakyat mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi, pejabat negara sekaligus politisi seperti Puan Maharani, Luhut Binsar Painjaitan, dan Mahfud MD juga senada dengan presiden (menyarankan ajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi).
Kemudian pertanyaannya adalah "apakah jalan judical review ke Mahkamah Konstitusi adalah solusi terbaik untuk menolak Omnibus Law?."
Beberapa alasan mengapa Omnibus Law ini tidak perlu menggunakan jalan judical review.
Pertama, pengusul judical review adalah mereka yang mengusung Omnibus Law. Kita semua patut mencurigai disini ada sebuah permainan politik dalam proses pengesahan UU Omnibus Law. DPR RI sengaja membuat Omnibus Law ini menjadi kontroversi dan menjadi bahan kajian. Kemudian menggunakan kepala negara untuk mengajak rakyat mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu dianggap jalan yang sah, sesuai dengan konstitusi negara. Lantas apakah kita akan mengikuti usulan mereka? Ingat kawan-kawan, yang kita lawan adalah Omnibus Law.
Kedua, judical review ke Mahkamah Konstitusi membutuhkan waktu yang lama. Bayangkan saja, jikalau 79 pasal yang di ubah DPR RI di gugat ke Mahkamah Konstitusi, butuh berapa banyak waktu untuk Mahkamah Konstitusi menghasilkan keputusan dalam proses persidangan? Sedangkan Undang-Undang itu sudah mulai berlaku sejak tanggal disahkan. Artinya dalam kurun waktu pengajuan gugat ke MK, ada peluang untuk para investor asing masuk, hak buruh tidak dipenuhi, komersialisasi pendidikan, dan lainnya itu terjadi. Lalu, peluang goal untuk menang di Mahkamah Konstitusi pun tergolong amat kecil, dan mungkin juga pasal yang di kabulkan tidak memberi perubahan yang besar.
Ketiga, judical review dapat menjinakkan gelombang aksi demonstrasi. Mengapa para elit politisi sangat gencar mengusulkan judical review? Seperti yang kita lihat di media-media pemberitaan, pemerintah mengusulkan kepada rakyat apabila ada ketidakpuasan atau menolak Omnibus Law mereka mengusulkan untuk mengajukan judical review ke MK. Ini jelas tujuannya adalah untuk menghentikan aksi demonstrasi, mungkin mereka-mereka menilai judical review ini jalan yang lebih konstitusional. Hmmm, padahal aksi demonstrasi - kebebasan berpendapat- juga diatur dalam konstitusi, yaitu dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Jadi, kurang konstitusional apa demonstrasi itu?
Jika dibandingkan dengan proses pengesahan UU Omnibus Law, justru pengesahan Omnibus Law lah yang inkonstitusional. Karena sebelum pengesahan UU tersebut, draf UU Cipta Kerja tidak di sosialisasikan secara baik kepada publik, bahkan tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas. Hal itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 89-96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses terhadap RUU kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat banyak yang beropini, berpendapat di media sosial. Eh, setelah itu malah di tuduh hoaks.
Demikianlah mengapa Omnibus Law menurut saya tidak harus menggunakan jalan judical review ke Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya ada jalan lain untuk mengenyahkan Omnibus Law ini adalah dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dikeluarkan oleh presiden. Tapi rasanya tidak mungkin, lhaa wong presiden sendiri yang meminta DPR untuk merancang Omnibus Law. Mau ditaruh dimana muka presiden? Tapi tidak apa-apa, negara kita adalah negara demokrasi, publik bebas untuk melakukan aksi protes. Maka perlawanan dijalanan dan media sosial yang masif bisa menjadi solusi untuk mendesak pemerintah khususnya presiden agar mengeluarkan Perppu.
Memang menjengkelkan melihat proses pengesahan Omnibus Law ini sejak awal sudah cacat prosedur. Di tambah soal waktu yang bebarengan dengan pandemi Covid-19, ini jelas membuat masyarakat makin geram terhadap DPR RI. Seharusnya pemerintah fokus untuk menangani wabah pandemi ini agar semua bisa kembali normal. Tetapi pemerintah seakan-akan abai dengan kondisi rakyatnya. Bukan mementingkan kepentingan rakyat, tapi mementingkan kepentingan pengusaha dengan dalih kepentingan rakyat.
Akhir kata,
Hidup Mahasiswa!
Hidup Buruh!
Hidup Rakyat!
0 Komentar