Muncak Yuk; Foto Diatas Tumpukan Sampah


(doc. google)

Sebenernya apa sih tujuan dari muncak itu? Apa hanya ingin berfoto diatas puncak gunung menggunakan kamera super canggih atau ingin diakui kalau "Aku anak petualang Gunung?",
"Hmm, aku kemarin muncak di Gunung Semeru lhoo. Coba lihat story Instagram dan WhatsApp ku yang terbaru deh". 

Muncak atau mendaki gunung belakangan ini menjadi hobi baru dikalangan kaum muda milenial. Kian hari kian meningkat jumlah minat mendaki gunung, ditambah dengan munculnya film 5 cm yang dirilis 12 desember 2012 dan mengambil syuting di puncak tertinggi Jawa, gunung Semeru. 

Kepuasan tidak didapatkan oleh aktivitas yang lain. Kepuasan itu bukan ketika sudah sampai di atas tertinggi, tetapi justru perjuangan naik sampe kepuncak itu. Disana ada sebuah kepuasan tersendiri, dimana seorang yang tak pernah memeluk alam secara langsung dihadapkan pada medan yang tidak biasanya mereka pijak. Tak disadari hal itu lah yang membuat seseorang ketagihan untuk ingin muncak lagi, dan lagi. Tak jarang juga ada yang jatuh cinta, ya hal itu sangatlah wajar rasa cinta bisa muncul ketika berjuang bersama - sama saling melindungi demi sampai kepuncak gunung. 

Walaupun begitu hobi ini bisa dikatakan hobi yang mahal, bagaimana tidak untuk sekali muncak saja membutuhkan ongkos yang cukup mahal. Dari mulai sewa peralatan, bekal sampai kepuncak, dan biaya masuk wilayah pendakian. Setidaknya jika ditotal keseluruhan untuk satu kali muncak dibutuhkan biaya antara Rp. 50. 000, - sampai 300.000, - tentu bagi yang sudah punya alat-alatnya sih tak repot-repot harus menyewa, tapi bagi yang pemula maka harus menyewa dengan harga yang selangit.
Maka biasanya untuk menghemat biaya dan biar gak kelihatan jomblo, aktivitas muncak tidak dilakukan sendirian, tapi terdiri dari sebuah kelompok yang beranggotakan 4 sampai 10 orang atau biar rame banget bisa sampai 20 orang. Dimana masing - masing orang memiliki tugas sendiri, ada yang sebagai petunjuk jalan ia yang paling depan dan paling berpengalaman, ada yang ditengah biasanya kaum-kaum hawa atau pemula yang baru pertama kali ikut muncak. Dan yang terakhir adalah yang dibelakang, tugasnya untuk melindungi dari teman-teman yang didepannya. Ya bisa dikatakan pahlawan atau man of the man muncak. 

Awalnya sih saya berfikir bahwa kegiatan mendaki itu hanya dilakukan oleh sebagian orang yang mengikuti komunitas - komunitas pencinta alam atau yang sering disebut KPA. Komunitas itu sesuai dengan namanya yaitu 'pecinta' alam mereka fokus pada pembenahan atau pelestarian alam. Kegiatan nya pun beragam dari mulai membersihkan gunung hingga menanam pohon dilahan bekas bencana alam. Sungguh mulia bukan? 

Namun ternyata pencinta alam itu berbeda dengan pendaki gunung yang hanya sekedar hobi atau untuk melepas penat dari aktivitas sehari-hari yang membosankan. Mereka yang hanya sekedar hobi seringkali tidak memperhatikan lingkungan sekitar, mulai dari hal kecil saja seperti membuang sampah mereka tidak peduli apa lagi dengan hal yang besar seperti isu - isu lingkungan. Jika pembaca pernah mendaki gunung, pasti tak jarang ditemukan sampah - sampah plastik bekas makanan, atau tisu basah bekas untuk membersihkan kotoran yang seharusnya dibawa ketika turun tetapi malah ditinggal diatas gunung. 

Gunung yang dulunya sebagai pusat penghijauan dan pelestarian hewan atau tumbuhan langka, rasanya sekarang sudah beralih fungsi menjadi sebuah destinasi wisata yang dikunjungi oleh orang-orang, walaupun sisi positifnya mendongkrak ekonomi daerah setempat tapi ada juga dampak negatifnya. Bagaimana tidak plastik atau kertas yang ditinggalkan diatas gunung berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Belum lagi para pendaki pemula yang belum paham medan daki. Seringkali sengaja menginjak tumbuhan-tumbuhan kecil atau sengaja mematahkan ranting pohon. 

Sudah saatnya kita sebagai generasi muda yang sadar lingkungan harus selalu menjaga segala ketertiban peraturan yang telah buat atau sepakati. Jangan hanya karena hobi atau sekedar meregangkan otak kita justru terbawa oleh nafsu yang menimbulkan kerusakan lingkungan.



*Tulisan tersebut sudah pernah diterbitkan di buletin Kosmopolit PMII Rayon Abdurrahman Wahid



Posting Komentar

0 Komentar