Komersialisasi Pendidikan Sebagai Cikal Bakal Krisis Kepakaran

(Dok. Google) 

Komersialisasi pendidikan menjadi topik yang hangat dibicarakan oleh kalangan mahasiswa atau akademisi. Pembicaraan tentang komersialisasi pendidikan merupakan wujud dari sebuah pemikiran kritis tentang dunia pendidikan yang dianggap sedang tidak baik-baik saja. Secara bahasa komersialisasi dapat diartikan sebagai sesuatu yang diperdagangkan atau diperjual belikan. Lalu apa jadinya jika komersialisasi terjadi pada dunia pendidikan?

Komersialisasi pendidikan yang sedang hangat dibicarakan sebenarnya adalah wacana, stigma, atau fakta? Karena kita tidak mengerti apa yang menjadi sebuah parameter yang menjadikan pelaksanaan pendidikan tersebut masuk dalam komersialisasi pendidikan atau tidak.

Problematika tentang komersialisasi pendidikan secara garis besar dimulai dari analisis kritis tentang adanya indikasi praktik perdagangan dalam dunia pendidikan. Selain itu adanya tentang praktik pendidikan dilakukan dengan niatan atau tujuan semata-mata untuk mencari keuntungan yang dinikmati oleh sekelompok orang saja. Sehingga dengan adanya demikian banyak orang yang merasa dirugikan karena biaya pendidikan menjadi mahal fasilitas pendidikan tidak memadai, atau pembungkaman suara yang menciderai demokrasi. 


Dampak Komersialisasi Pendidikan 

Dampak komersialisasi pendidikan dapat ditemukan dalam semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Bisa dikatakan hal ini sangat menyedihkan, program pemerintah tentang wajib belajar 12 tahun sudah berjalan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan seluas-luasnya bagi para gernerasi bangsa juga untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) agar mampu mempunyai daya saing dalam menghadapi era globalisasi. 

Namun, melihat kondisi masyarakat Indonesia sekarang cukup memprihatinkan khususnya bidang pendidikan. Banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era globalisasi salah satunya adalah program wajib belajar 12 tahun. Bukan tanpa alasan masyarakat tidak bisa mengakses pendidikan, ketidakmampuan itu disebabkan oleh adanya biaya pendidikan yang mahal –tidak sesuai dengan ekonomi masyarakat sehingga orang-orang terentu sajalah yang dapat mengakses pendidikan tersebut. 

Pendidikan Indonesia hari ini telah dirasuki oleh mental kapitalisme maka orientasi pendidikan bergeser menjadi kearah titik kenikmatan ekonomi material. Akibatnya, orientasi pendidikan yang semula untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kini berubah menjadi komersil. 


Jual Beli Ijasah dan Joki Akademik 

Contoh nyata adanya komersialisasi pendidikan salah satunya adalah praktik jual beli atau pemalsuan ijazah. Rocky Gerung pernah mengatakan bahwa ijazah merupakan tanda seseorang pernah sekolah, tapi ijazah tidak menandakan seseorang pernah belajar/berpikir. Artinya bahwa ijazah yang merupakan selembar kertas bertuliskan nama seseorang dan bertandatangan seorang kepala lembaga pendidikan bisa dimanipulasi dan diperjual belikan dengan bebas untuk kepentigan tertentu. 

Salah satu kepentingan jual beli ijazah adalah untuk mendapatkan suatu gelar dari lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi. Seseorang dapat dengan mudah mendapatkan gelar sarjana, magister, atau doktor bahkan profesor dengan menempuh jalan –komersil tanpa harus melalui proses perjuangan yang panjang sesuai dengan aturan akademik yang berlaku. 

Jual beli ijazah juga termasuk pelanggaran akademik. Seseorang yang ketahuan membeli ijazah maka gelar yang didapatkan tidak sah secara akademik. Bahkan gelar tersebut harus dicopot dan mendapatkan sanksi akademik maupun sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan undang-undang: Pemalsuan ijazah merupakan pelanggaran hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 UU No 20/2003 dengan ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar. 

Selain praktik jual beli atau pemalsuan ijazah ada juga namanya joki akademik. Joki akademik merupakan sebutan bagi seseorang yang bekerja dibidang jasa layanan untuk membuat karya tulis berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun karya-karya ilmiah lainnya. Orang-orang yang memiliki uang bisa dengan mudah membeli atau membayar orang lain untuk melakukan riset ataupun membuat karya ilmiah dengan atas nama orang lain untuk kepentingan akademik. Entah untuk mendapatkan gelar, maupun untuk memperoleh jabatan akademik seperti sarjana, magister, doktor bahkan profesor. 

Joki akademik ini jelas merupakan pelanggaran akademik dan pelanggaran hukum pidana. Karena seseorang memerintahkan orang lain untuk kepentingan dirinya tanpa harus capek mengeluarkan waktu, tenaga, pikiran. 

Di dalam dunia akademik dua hal tersebut: jual beli ijazah atau pemalsuan ijazah dan joki akademik merupakan hal yang bisa saja terjadi. Dan hal itu merupakan kenyataan yang ada dalam kehidupan akademik. Seorang yang melakukan tersebut pantas dijuluki sebagai akademisi abal-abal. Karena menempuh jalan-jalan komersil dalam mencapai derajat akademiknya. 

Jelas sekali dua hal tersebut merupakan dampak dari komersialisasi pendidikan. Seseorang menjadi sangat menyederhanakan pendidikan hanya sebatas selembar kertas yang disebut dengan "Ijazah". Seseorang rela membayar sejumlah uang untuk mendapatkannya dengan tujuan adanya ijazah tersebut seseorang bisa mendapatkan pekerjaan lebih mudah dan mendapatkan uang dari hal tersebut. 


Komersialisasi Pendidikan Sebagai Cikal Bakal Krisis Kepakaran 

Krisis kepakaran merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat kita tetapi jarang ada yang menyadarinya. Sederhananya krisis kepakaran dapat diartikan sebagai kurangnya seorang ahli atau pakar dalam suatu bidang tertentu dalam menanggapi isu-isu yang muncul di sekitar kehidupan masyarakat. 

Contohnya saja ketika ada permasalahan dibidang pendidikan, berapakah ahli pendidikan atau pakar pendidikan yang mau berkomentar tentang adanya problematika yang ada di masyarakat? 

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka yang mempunyai gelar sarjana, magister, doktor bahkan profesor dibidang pendidikan tidak mengerti permasalahan yang ada dalam masyarakat? Tentu mereka tahu. Mereka telah menempuh pendidikan dibidang akademik tentunya sudah sadar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi mereka tidak mau bersuara sekedar memberikan kritik ataupun tanggapannya tentang permasalahan yang terjadi. 

Padahal sosial media di tahun 2022 ini sudah sangat berkembang dengan pesat. Segala informasi dapat diakses dengan mudah. Kebebasan berpendapat juga dilindungi oleh Undang-undang Negara Republik Indonesia. Sederhana sekali, sekedar komentar di media sosial para pejabat negara kita. Masa tidak bisa? 

Saya pribadi jadi curiga, jangan-jangan para akademisi kita gaptek soal media sosial. Atau jangan-jangan gelar mereka abal-abal dari hasil beli/pemalsuan ijazah atau joki akademik?



*Esai ini telah digunakan untuk persyaratan Pelatihan Kader Lanjut (PKL) PC PMII Purwokerto 18-22 Mei 2022. 

Posting Komentar

0 Komentar