Uang Kuliah Tunggal; Sebuah Refleksi atas Ketidakadilan

(Doc. Google)


Pendidikan merupakan hal yang sangat berperan penting dalam pembangunan sebuah bangsa dan Negara. Cita – cita Pendidikan Indonesia sangat mulia, hal itu tertuang dalam Alenia IV pembukaan UUD 1945; mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka dari itu pemerintah Republik Indonesia berusaha sekuat tenaga membuat kebijakan dengan berbagai macam aturannya untuk mencapai suatu harapan serta tujuan pendidikan Nasional yang ideal.

Namun sebagai Mahasiswa yang merdeka, Mahasiswa yang memiliki tugas sebagai Agen of Change dan Agen of Control, sudah seharusnya bisa merespon dan meninjau kembali kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan kampus. Salah satu kebijakan pemerintah yang dirasa cukup meresahkan Orang tua serta Mahasiswa akhir – akhir ini adalah  mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kian hari, kian membuat mahasiswa resah dan gelisah.

Dalam sejarahnya kebijakan UKT ditetapkan bedasarkan Permendikbud No. 55 tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri dilingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang mana dengan adanya UKT ini tujuannya adalah untuk meringankan beban biaya pendidikan mahasiswa menggunakan sistem subsidi silang. Kemudian peraturan UKT berkembang dengan diterbitkannya Permenristekdikti No. 39 tahun 2016. Yang mana UKT menjadi sebuah bagian dari BKT (biaya Kuliah Tunggal).
Sedangkan dalam Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) seperti UIN, IAIN dan STAIN, masalah UKT dibahas pada BAB III Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018  tentang standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi pada perguruan tinggi keagamaan negeri.

Dengan adanya peraturan ini artinya setiap semester mahasiswa UIN Walisongo berkewajiban untuk membayar uang kuliah sesuai dengan golongan dan  nominal yang sama, tanpa ada pungutan biaya pendidikan yang lainya.  Hal ini ditentukan berdasarkan pengisian data diri calon mahasiswa baru ketika mendaftar, kemudian  melalui proses yang panjang baru kemudian ditetapkan melalui surat keputusan Rektor masing – masing Universitas diseluruh Indonesia.

Ketika calon Mahasiswa pertama kali melihat besaran UKT yang dibebankan oleh kampus, responnya beragam. Ada yang tidak terima, dan ada juga yang baik-baik saja. Namun berbeda dengan yang terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, khususnya dilingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tujuh dari sepuluh orang Mahasiswa baru 2019 menjawab tidak sesuai ketika ditanya keberatan atau tidak UKT yang ditetapkan oleh kampus. Walaupun hal ini tidak cukup memuaskan sudah dapat dipastikan Mahasiswa baru 2019 merasa keberatan dengan UKT yang dibebankan oleh kampus terhadap Mahasiswa.

Adanya Mahasiswa yang keberatan dengan UKT hal itu disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah anak petani yang menerima UKT lebih besar daripada anak seorang Pegawai Negeri Sipil atau anak aparat penegak hukum menerima UKT lebih kecil dari anak seorang tukang becak. Ketimpangan – ketimpangan tersebut terlihat sudah sering terjadi, UKT yang memiliki sistem subsidi silang realitanya tidak seperti itu. Menurut PMA No. 7 tahun 2018 pada BAB III pasal 8 ayat (4) poin a disebutkan bahwa jatah 5 persen perfakultas untuk golongan satu yaitu UKT sebesar Rp.0’- sampai Rp.400.000,- ternyata hanya sebesar 1,55 persen saja.

Kemudian UKT yang mana sesuai dengan namanya Uang Kuliah Tunggal (tidak ada pungutan lain) ternyata pada realitanya berbeda. Contoh kecil ketika pembelajaran dikelas, masih banyak ditemukan “oknum” dosen yang menawarkan karyanya kepada Mahasiswa dengan dalih sebagai “Buku Referensi” dalam pembuatan makalah. Bahkan lebih kejam lagi jika tidak membeli buku dari dosen tersebut diancam tidak lulus pada mata kuliah yang diampu. Belum lagi biaya praktek non penelitian yang mengharuskan Mahasiswa membeli bahan dengan harga yang cukup mahal.

Soal transparasi pun rasanya birokrasi masih sangat alot untuk membeberkan detail rincian data UKT yang Mahasiswa bayar setiap semester. Setiap kali Mahasiswa menanyakan perihal transparansi kepada lembaga Legislatif Mahasiswa dalam hal ini adalah Senat Mahasiswa kemudian senat menyampaikan kebirokrasi namun tidak ada respon yang berarti.

Dan pada akhirnya masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh Mahasiswa perihal UKT ini. Sejarah mencatat ketika tahun 2016, Mahasiswa baru dengan semangat membara berani menyuarakan untuk menolak UKT. Namun hari ini sebagian besar Mahasiswa acuh tak acuh melihat betapa signifikan naiknya UKT dari mulai tahun 2015 hingga tahun 2019 sekarang.

Berbicara tentang UKT memang tidak ada habisnya, berbicara UKT sama saja berbicara kemanusiaan, bahwa kita (Mahasiswa) sebenarnya sedang ditindas oleh birokrasi Kampus dan pemerintahan. Artinya jika Mahasiswa hari ini masih merasa baik-baik saja, kuliah hanya sekedar kuliah, terlalu nyaman dengan Smartphone dan game online nya maka satu pertanyaan yang terlintas dalam benak penulis. “apakah kau masih layak disebut sebagai Mahasiswa?”.

Terimakasih sudah membaca, sebuah pengantar untuk melawan!
Semarang, 11 September 2019
@Aji_frmn

Posting Komentar

0 Komentar